.com - Mungkin belum banyak yang tahu bahwa Wewey Wita, peraih medali emas ke-30 bagi kontingen Indonesia pada Asian Games 2018, ialah pesilat putri keturunan Tionghoa dari keluarga yang kurang mampu.
Berikut dongeng yang ditulisnya sendiri wacana bagaimana Wewey hingga 'tersesat' ke olahraga pencak silat dan dongeng kepahitan hidup keluarganya.
Segala hal wacana hidupku serupa paradoks.
Aku seorang perempuan. Aku berdarah Tionghoa dan papaku warga negara Singapura. Aku bertarung untuk Indonesia.
Ada sebuah streotipe di negara ini bahwa orang-orang Tionghoa niscaya mapan dan berada. Tentu saja itu omong kosong. Percayalah, kalau situasi ekonomi setiap keluarga menyerupai garis start bagi belum dewasa yang terlahir darinya, saya mulai jauh, jauh, dari belakang.
Pada mulanya keluarga kami berkecukupan. Namun, suatu ketika Papa, yang berbisnis kayu, ditipu rekannya sendiri. Hidup seketika jadi kolam bubuk di atas tanggul. Segalanya goyah, kemudian ambruk. Bank menyita rumah, mobil, dan harta lainnya. Hidup di kota semakin menekan. Kemiskinan mendesak kami ke tepi.
Papa memboyong seluruh keluarganya ke kampung halaman Mama di Ciamis. Tinggal di kota kecil tak serta merta menciptakan hidup kami membaik. Papa enggan menumpang di rumah nenek lantaran ia enggan jadi beban. Ia ingin berdikari walau sulit.
Kami tinggal di rumah kontrakan yang sempit. Papa dan Mama mencoba bangun berkali-kali, mulai dari berjualan bakso hingga barang-barang kelontong. Kami berdiri, jatuh, berdiri lagi, jatuh lagi.
Utang membengkak. Kami bahkan tak sanggup menanggung biaya keperluan sehari-hari mirip beras, minyak, gula dan lain-lain. Suatu kali listrik rumah kami diputus lantaran pembayaran terlalu usang ditunggak. Bermalam-malam gelap gulita. Untuk mengecas ponsel Papa, satu-satunya alat komunikasi kami, saya terpaksa menumpang di rumah tetangga.
“Memang listrik punya nenek moyang lu?”
Bentakan itu akan selalu tergiang dalam kepalaku.
Papa berjulukan orisinil Yeo Meng Tong. Ketika ia masih berduit, orang-orang memanggilnya Mr. Tong dengan lagak manis. Begitu kami kere, orang enteng saja menyapanya Atong. Terkadang malah Otong. Itu membuatku jengkel. Kau tahulah, itu nama yang sering diberikan pria buat alat kelaminnya sendiri.
Bagaimana pun, saya selalu merasa beruntung mempunyai Papa yang tangguh dan penyabar. Dia tak pernah menyuruh istri atau anak-anaknya bekerja buat meringankan bebannya. Bahkan hal-hal sepele mirip menyapu, mengepel, atau mencuci piring, sering ia lakukan sendiri.
Aku pernah memergokinya berkata, dengan mesra, kepada Mama: “Biar Papa saja.” Papa ialah pemimpin keluarga kami, dan ia mengerti bahwa pemimpin sejatinya ialah pelayan.
Papa tak banyak bicara. Dia selalu memberi pola dengan tindakan. Sifat konsekuen papa mulai kutiru semenjak saya kecil. Sedari dulu saya sudah menyadari saya harus punya andil dalam keluarga ini.
Sejak kecil saya terbiasa bergaul dengan laki-laki. Aku hebat bermain kartu dan gundu. Jika menang, gundu dan kartu mereka yang kumenangkan bisa kujual kembali. Uangnya kuserahkan ke Mama.
Itu bukan satu-satunya trik yang kupunya buat mencari uang. Bukan, bukan beternak tuyul. Dulu, ada snack berharga Rp500 yang kadang berisi hadiah uang Rp.5,000. Di warung langgananku, satu demi satu bungkus snack itu kukocok, kutimbang, kudengarkan bunyinya. Kalau cocok, saya ambil. Jika tidak, dengan polosnya saya akan berlalu meninggalkan penjaga warung yang cemberut lantaran barang dagangannya saya acak-acak. Konyol, jelas. Naif, mungkin. Tapi dongeng itu benar belaka.
Saat saya lahir, Papa menamaiku Yeo Chuwey. Dalam bahasa Indonesia, artinya cukup keren: nomor satu yang paling bersinar. Sayang, kegaduhan politik di Indonesia waktu itu menciptakan Papa berpikir nama Tionghoa hanya akan menciptakan hidupku makin sulit. Maka, di sertifikat kelahiranku tertera nama utama yang “lebih Indonesia”: Wewey Wita.
Sampai di sini, sesudah mengetahui latar belakang keluargaku, kau mungkin menerka saya seorang atlet badminton, wushu, kungfu, basket, bridge, atau olahraga-olahraga yang telanjur lekat dengan etnis Tionghoa. Salah, saya ialah seorang pesilat.
Pencak silat cenderung lebih akrab dengan identitas keindonesiaan yang dibatasi pada satu entitas yakni etnis Melayu. Berkulit coklat, bukan kuning. Tentu pencak silat sendiri tak melahirkan sekat-sekat itu. Pembatasan, kukira, hanya ada dalam kepala kita. Pencak silat, mirip Indonesia, memeluk siapa saja yang mencintainya, termasuk aku.
Aku sendiri tak menyangka silat bisa jadi bab dari hidupku. Memang semasa kecil saya biasa bermain dengan anak lelaki dan ikut bermacam-macam ektrakurikuler olahraga, mulai dari voli dan basket hingga karate dan taekwondo. Mama selalu memaksaku menampakkan sisi feminin, sampai-sampai ia pernah memaksaku ikut lomba peragaan busana yang diadakan Radio Pitaloka, stasiun radio populer di Ciamis.
Aku terpilih sebagai juara 2. Tetapi saya tak peduli. Buatku, berlenggak-lenggok itu tak nyaman. Kurasa bakatku memang olahraga. Semua guru olahraga mengenalku. Dalam aneka macam kejuaraan olahraga antar sekolah, namaku selalu muncul dan mereka banggakan. Lalu, terjadilah sesuatu yang mengubah hidupku.
Dalam sebuah pesta perpisahan abang kelas, seorang guru mendatangiku. Dengan enteng ia bilang: “Wewey, Bapak udah daftarin kamu, ya. Uang registrasi sudah masuk. Dua hari lagi pertandingan.”
Tentu saya terbelalak. “Tanding apa, Pak?” kataku. “Silat.”
Aku bingung. Mau membantah takut durhaka. Tapi kalau harus mengembalikan uang pendaftaran, saya tak tahu harus mencari ke mana. Dengan terpaksa, saya menurut.
Hanya ada dua hari untuk belajar. Dan yang lebih ajaib, guru itu hanya mengajariku etiket masuk gelanggang, salam kepada wasit, dan hal-hal sepele lainnya. Sama sekali tak ada teknik pertarungan. Dan, oh, untuk kejuaraan pertamaku itu, meski masih kelas 4 SD, berat badanku melewati ambang batas yang ditentukan. Maka, saya diturunkan melawan belum dewasa SMP.
Takut? Jelas. Musuhku ialah atlet-atlet pencak yang punya jam terbang, sedangkan saya cuma berlatih memberi salam selama dua hari. Aku menang dengan skor 3-2 dalam pertandingan pertamaku berkat teknik tendangan karate. Tendang, tendang, dan tendang. Aku gagal menjadi juara umum, namun ketika juara terbaik diumumkan, namaku disebutkan di podium. Sejak ketika itulah saya diminta guru-guru menggeluti pencak silat secara serius.
Popwilnas. Popda. Popnas. Satu demi satu kejuaraan berjenjang untuk pelajar itu kuikuti.
Seperti saya jelaskan di awal, hidupku penuh paradoks. Dan itu terjadi lagi di kejuaraan senior pertamaku, ketika membela Kabupaten Ciamis di ajang Pekan Olahraga Daerah (Porda).
Dalam sebuah kompetisi, lazimnya kasus pencurian umur terjadi ketika si atlet mengurangi umur jagar tak melebihi batasan. Aku malah sebaliknya. Waktu itu, atlet Porda harus berusia 17-35 tahun, sedangkan saya gres 14 tahun. "Kalau kau siap, gampang, semuanya bisa diurus," kata instruktur kepadaku.
Saat itu, saya tak begitu paham dan peduli apakah yang kulakukan benar. Yang kuinginkan hanya ikut kejuaraan dan berprestasi. Lagi pula, kita sama-sama tahu, sulap-menyulap bukan hal yang aneh di negara ini.
Aku memenangkan emas. Kabar soal pencurian umur yang kulakukan pun bocor dan jadi perbincangan. Namun, orang-orang tampaknya malah besar hati alasannya seorang atlet berusia dini bisa mengalahkan atlet-atlet yang lebih senior.
Emas Porda itu semestinya berarti bonus Rp10 juta untukku, tetapi yang kuterima hanya Rp7,5 juta—kukira saya tak perlu menjelaskan kepadamu bagaimana itu bisa terjadi. Aku tak mempermasalahkan hakku yang raib, lagi pula Rp7,5 juta bagi seorang anak Sekolah Menengah Pertama sepertiku ketika itu sudah teramat besar.
Dari titik itulah karierku sebagai atlet pencak silat melejit. Aku bergabung dengan PPLP di Bandung.
Selain Papa dan Mama, saya beruntung mempunyai kakek dan nenek yang amat berjasa ketika saya meniti karier di Bandung. Meski sulit, mereka selalu memaksaku mendapatkan uang dukungan mereka, yang saya tahu didapat dengan susah payah.
Saat di Bandung, saya kadang tak bisa makan dengan lahap. Apakah keluarga di Ciamis sudah makan atau belum? Aku merasa telah meninggalkan keluargaku dalam situasi sulit.
Namun, pilihan pelik merantau ke Bandung harus kuambil. Hanya dari sanalah saya bisa berharap membantu Mama, Papa, dan lima adikku menyambung hidup dengan uang saku dan bonus kemenanganku di pelbagai kejuaraan.
Jika boleh jujur, saya sesungguhnya sudah letih. 15 tahun saya bertarung, bertarung, bertarung. Aku sadar bahwa menjadi atlet bukan jaminan niscaya untuk masa depan—ibarat bunga, segar digunakan layu dibuang. Namun, di sisi lain, kerja belum selesai, belum apa-apa. Aku akan berhenti hanya kalau sudah memperlihatkan prestasi terbaik bagi bangsaku, negaraku: Indonesia.
29 Agustus 2018
oleh : Wewey Wita Sumber https://www.tipsiana.com
0 komentar:
Posting Komentar