.com - Peristiwa Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 yakni salah satu pertempuran terbesar dalam sejarah usaha mempertahankan kemerdekaan. Pertempuran antara pasukan Indonesia melawan pasukan sekutu yang dimotori tentara Inggris ini yakni bukti keberanian para pejuang meski dengan persenjataan tak berimbang.
Dokumentasi insiden tersebut sangat lengkap dalam literatur sejarah, namun untuk dokumentasi dalam bentuk foto atau rekaman video ternyata sangat sedikit. Salah satu foto ikonik ketika Bung Tomo tampak sedang berpidato yang lekat dengan insiden 10 November, ternyata diambil ketika dia berpidato di Mojokerto guna mengumpulkan pertolongan untuk korban perang Surabaya.
Foto-foto suasana pertempuran justru bersumber dari pihak luar. Imperial War Museum (IMW), museum yang dibiayai pemerintah Inggris, menyimpan dokumentasi situasi pertempuran Surabaya yang cukup beragam. Tentu saja alasannya yakni foto-foto tersebut berasal dari arsip militer Inggris, pertempuran lebih banyak terlihat dari sisi pihak sekutu.
Berikut formasi foto suasana pertempuran Surabaya beserta kronologisnya.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan di Jakarta, para pejuang di seluruh Indonesia bangun untuk merebut wilayah yang dikuasai Jepang. Para cowok Surabaya pun segera merampas peralatan militer Jepang dan berhasil memperoleh banyak senjata. Gerakan cowok Surabaya segera diorganisir untuk bersiap menghadapi bahaya dari pihak penjajah yang ingin kembali mengklaim untuk berkuasa.
Ancaman tersebut benar tiba pada tanggal 25 Oktober 1945, 5000 tentara dari Divisi 23 sekutu yang dipimpin Brigadir AWS Mallaby mendarat di Surabaya. Mereka segera masuk kedalam kota dan mendirikan pos-pos pertahanan di delapan titik strategis.
Misi awal mereka yakni ingin menyita senjata Jepang yang telah dikuasai pejuang rakyat. Pejuang menolak keras seruan mereka hingga alhasil sekutu urung melucuti senjata yang telah dikuasai pejuang.
Tapi rentetan insiden penyerangan dan bahaya yang dilakukan pihak sekutu menciptakan pejuang marah. Penyerangan tentara ke sekutu ke penjara Kalisolok untuk membebaskan perwira Belanda, kolonel Huiyer dan penyebaran pamflet peringatan untuk menyerahkan senjata dengan bahaya tembak ditempat, menciptakan militer Indonesia geram dan memerintahkan menyerbu seluruh pos pertahanan Inggris di Surabaya.
Serangan besar-besaran pada tanggal 28 Oktober 1945 dimulai pada pukul 4.30 pagi. 30.000 pejuang bersenjata api ditambah 100.000 rakyat dengan senjata tajam menggempur delapan pos Sekutu. Serangan tiba-tiba tersebut memaksa Sekutu mengalah dan meminta berunding.
18 perwira dan 374 serdadu sekutu tewas, luka-luka dan hilang dalam serangan. Sementara 6000 pejuang Indonesia gugur, luka dan hilang. Andai perang dilanjutakan Brigadir Mallaby yakin mereka akan habis.
Setelah Presiden Sukarno dan Wapres Moh. Hatta berunding dengan Mallaby pada 29 Oktober, dicapai janji gencatan senjata dan kota Surabaya dikuasai penuh oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Indonesia.
Peristiwa tak terduga terjadi pada 30 Oktober 1945. Saat para anggota Kontak Biro dari kedua belah pihak (yang bertugas mensosialisasikan genjatan senjata) mendatangi beberapa tempat yang masih terjadi pertempuran, kesalahpahaman terjadi. Brigadir Mallaby yang menolak seruan cowok semoga pasukannya yang terkepung menyerah, terlibat insiden baku tembak dan alhasil tewas.
Seorang sersan tentara Inggris mengecek rongsokan kendaraan beroda empat Brigadir Mallaby sesudah terlibat kontak tembak dengan pejuang Indonesia
Meski dari banyak sekali kesaksian perwira Inggris di tempat insiden yang menyampaikan pihak Inggrislah yang pertama kali memulai tembakan, pihak sekutu tetap murka besar. Letjen Christison mengultimatum pejuang Indonesia untuk menyerah. Jelas pihak Indonesia menolak dengan tegas alasannya yakni yakin insiden tersebut yakni kecelakaan.
Diam-diam, sekutu mengerahkan pasukannya secara besar-besaran memasuki kota Surabaya. 24.000 tentara dari Divisi 5 Inggris dikomandoi Mayjen RC Mansergh menyusup masuk. Kapal perang dengan 1500 marinir juga merapat ke Surabaya. Dan banyak sekali jenis pesawat tempur dan tank Sherman dengan persenjataan tercanggih ketika itu diterjunkan.
Pada 9 November 1945 jam 2 siang, Mayjen Mansergh mengultimatum Indonesia. Isi ultimatum tersebut sangat melecehkan pejuang:
Seluruh pimpinan Indonesia, termasuk pimpinan gerakan pemuda, kepala polisi, dan kepala radio Surabaya harus melapor ke Bataviaweg tanggal 9 November pukul 18.00. Mereka harus berbaris satu persatu membawa segala jenis senjata yang mereka miliki. Senjata tersebut harus diletakkan di tempat yang berjarak 100 yard dari tempat pertemuan, sesudah itu orang-orang Indonesia harus tiba dengan tangan di atas kepala mereka, dan akan ditahan, dan harus siap untuk menandatangani pernyataan mengalah tanpa syarat.
Ultimatum yang tak masuk nalar tersebut ditanggapi dengan perlawanan. Komandan pertahanan kota Soengkono dihari yang sama pada jam 5 sore mengadakan pertemuan dengan seluruh unsur kekuatan rakyat di Markas Pregolan 4. Ia menyampaikan untuk meninggalkan kota bagi yang merasa tak mampu, namun seluruh pejuang bertekad mempertahankan Surabaya hingga titik darah penghabisan. Para ulama juga turut andil mengobarkan semangan jihad pada para santrinya yang ikut berjuang.
Secara resmi, pada pukul 10 malam, Gubernur Surabaya, Soeryo menyatakan menolak ultimatum Inggris melalui radio. Radio perlawanan yang dipimpin Bung Tomo menyerukan panggilan Jihad untuk mengkremasi semangat juang rakyat. Pidatonya yang berapi-api hingga sekarang masih bisa di dengar.
10 November 1945 jam 6 pagi, sempurna sesudah batas waktu ultimatum habis, Inggris menggempur kota Surabaya dari darat, bahari dan udara. Pengeboman membabi buta tersebut mengakibatkan banyak korban sipil. Pasar Turi yang sedang ramai, terkena hujan bom dan menewaskan ratusan penduduk sipil.
Selama tiga ahad pertempuran tak seimbang tersebut berlangsung, tercatat lebih dari 20.000 rakyat Surabaya tewas. Sementara 150.000 orang terpaksa mengungsi meninggalkan kota. Surabaya luluh lantak. Sementara Inggris mencatat 1.500 tentaranya tewas, luka-luka atau hilang.
28 November 1945 yakni perlawan terakhir dari pejuang yang terjadi di tempat Gunungsari. Meski secara sporadis kontak tembak masih terjadi di beberapa tempat. Namun secara de facto perlawanan pejuang telah berhenti.
Indonesia kalah dalam pertempuran tersebut. Namun pertempuran Surabaya menjadi bukti bahwa rakyat Indonesia rela berkorban jiwa raga untuk mempertahankan kemerdekaan. Slogan "Merdeka atau mati" benar-benar terbukti. 10 November alhasil ditetapkan sebagai hari hero oleh Presiden Soekarno setahun kemudian.
Sumber foto : Imperial War Museum Sumber https://www.tipsiana.com
0 komentar:
Posting Komentar