.com - Azan magrib pasti menjadi rinduan mereka yang berpuasa. Begitulah sebagian sobat berucap pribadi ataupun melalui status di media sosial. Di antaranya ada yang mengungkapkan kerinduan itu dengan gaya yang menghibur. Kadang-kadang, ungkapannya menyerupai jeritan perut yang kosong. Biasanya, ungkapan semacam itu ramai pada awal bulan ampunan dan kian sepi menjelang bulan puasa berakhir.
Tumbuh di negeri ini, entah sudah berapa puluh ribu kali aku mendengar lantunan azan. Lima kali sehari sepanjang tahun, semua masjid menyuarakannya. Tak pernah kita dengar ada masjid kekurangan pelantun azan. Rasanya tak mungkin pula Kementerian Agama mengeluarkan daftar muazin versi pemerintah.
Meski berbeda agama, tak pernah sekali pun aku jenuh mendengar azan. Saking sering mendengarnya, aku bisa melantunkan azan dari awal hingga akhir. Mungkin pula banyak non-muslim bisa melafalkannya lantaran sudah hafal.
Kala aku bersekolah di Seminari Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, azan magrib kerap terdengar bersamaan dengan lonceng kapel seminari. Di Gereja Kristen yang memilikinya, lonceng berbunyi tiga kali sehari: pagi, siang, dan petang. Hal itu merupakan permintaan untuk berdoa Angelus Domini atau Malaikat Tuhan.
Mendengar serentaknya denting genta dan azan, pendengaran dan hati aku sering merasa teduh. Tidak ada yang beradu mana yang lebih keras. Keduanya punya kemiripan: sama-sama mengundang untuk berdoa.
Melihat fungsi itu, aku memandang azan bukan hanya milik sebagian orang. Azan ialah milik mereka yang mau mendengar dan menyerahkan hati kepada Sang Pencipta. Azan tak sekadar membangunkan tidur manusia, tapi juga menggugah untuk berhenti sejenak dari aktivitas, seraya mengucap syukur atas segala nikmat dari-Nya. Azan bisa menyatukan mereka yang menghayatinya.
Itulah sebabnya aku menyukai azan yang disiarkan dengan khidmat untuk mengajak umat bersujud. Azan kerap mengingatkan aku untuk membisu sejenak, menutup mata sambil mendengarkan kemerduan, kemudian mencicipi sapaan-Nya.
Maka, aku bisa terpana mendengar azan dari masjid di sebuah pulau di wilayah Banda yang dikepung pepohonan tinggi. Suaranya menggaung ke arah laut. Sekali lagi, sapaannya terasa tak hanya di telinga, tapi juga menembus ke hati. Air mata aku menetes karenanya.
Pun aku suka akan azan di Aleppo, Suriah, yang diserukan seorang milisi pemberontak pada suatu subuh, November 2012. Meski suaranya agak parau, lantunannya yang terdengar lirih lagi-lagi menciptakan aku menangis. Di tengah Aleppo yang porak-poranda dan penuh duka, azan seolah mengingatkan aku untuk berserah dengan segera lantaran hidup entah kapan berakhir.
Suatu sore, azan berkumandang dari masjid kecil yang masih berdiri di antara reruntuhan bangunan yang terkena mortir. Saya meminta fixer atau pemandu sekaligus penerjemah menghentikan kendaraan.
Melihat air di sudut mata saya, sang fixer menatap dan berkata, "Semoga kau diberi hidayah." Ucapan itu aku balas dengan senyum. Dalam hati aku berkata, "Kawan, tanpa perlu aku berpindah agama, azan itu sudah bisa membawa aku kepada Pencipta."
Penulis: Stefanus Pramono, Wartawan Tempo
Sumber : Koran Tempo edisi 7 Juni 2018 Sumber https://www.tipsiana.com
0 komentar:
Posting Komentar