Klik Jenis-Jenis Bonsai, Bonsai Pohon Kelor, Bonsai Buah-Buahan, Kelapa, Serut, Beringin, Asem, Sancang, Kaliage, Aquascape, Anting Putri, Loa, Arabika, Adenium, Asoka, Ampelas, Azalea

Hamka Muda Itu Berjulukan Ustad Abdul Somad

.com - Tulisan sederhana ini bukan bermaksud membanding-bandingkan, melebihkan yang satu mengurangi yang lain, memuji-muji dan mengangkat yang satu merendahkan yang lain. Antara pribadi Buya Hamka (1908-1981) dengan seorang ustad yang kini sedang naik daun di dunia youtube, berjulukan Ustad Abdul Somad (selanjutnya ditulis UAS). Melainkan hendak menampilkan nilai-nilai apa saja yang bisa kita petik dari kepribadian kedua alim tersebut, untuk dijadikan pola bagi umat.


Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), meraih gelar Dr HC (doktor honoris causa) atas dukungan universitas Islam tertua di dunia, Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Berasal dari keluarga ulama pula, bahkan ayahnya pun mendapat gelar Dr HC dari universitas yang sama. Ayah dan anak yang sama-sama meraih gelar kehormatan dari kampus Islam ternama. Sehingga ayah Hamka yang berjulukan Abdul Karim Amrullah, oleh masyarakat kampungnya di Maninjau-Agam, dipanggil dengan sebutan “Inyiak Deer” (lebih lanjut baca buku “Ayahku” karya Hamka, 1982).

Pribadi Hamka ialah seorang ulama cum sastrawan dan politisi, sudah menjadi sosok panutan umat Islam di zamannya. Tak hanya di Indonesia, nama besar dia menggema di Asia Tenggara. Bahkan mantan perdana menteri Malaysia, Tun Abdul Razak kala meninggalnya Buya Hamka mengatakan, “Hamka tidak hanya milik bangsa Indonesia, tetapi pujian bangsa-bangsa Asia Tenggara.”

Buya Hamka telah memperlihatkan kemampuan menulisnya semenjak usia 17 tahun. Sejak itu hingga Buya meninggal, dia sudah menulis 118 buku; bertemakan agama, sejarah, novel, biografi, adat Minangkabau, politik, ideologi, negara, filsafat dan tafsir Alquran yang berjilid-jilid (Rusydi Hamka, 2017). Sungguh ini bentuk produktivitas yang luar biasa, di tengah mesin cetak, perangkat penerbitan dan mesin ketik belum secanggih dan sebanyak zaman kini.

Lebih mengagumkan lagi, Buya ialah sosok belajar sendiri dalam proses perkembangan intelektualnya yang multidisplin dan unik. Otodidak dalam artian, dia tidak pernah duduk di kursi sekolah formal hingga jenjang universitas (Irfan Hamka, 2013). Bahkan SD pun hanya dialaminya selama 3 tahun, kemudian berhenti.

Walaupun untuk pengetahuan agama, modal dasar dari ayahnya, seorang ulama pembaharu Islam di Indonesia dan pendiri Sumatera Thawalib (lebih lanjut lihat “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942”, Deliar Noer, 1982) sudah cukup kiranya sebagai pijakan dasar dalam memahami khazanah keilmuan Islam.

Hamka kemudian dikenal dengan sikapnya yang gigih, tegas dan lurus dalam berprinsip. Ketika menjabat sebagai ketua umum MUI sentra pertama tahun 1975-1981, Hamka dengan tegas mengeluarkan fatwa terkait pelarangan (haram) perayaan Natal bersama di masyarakat. Tentulah fatwa ini menjadikan gejolak, khususnya bagi pemerintah.

Tapi, Hamka tetaplah Hamka, yang tegak punggungnya, berpijak pada prinsip yang lurus dan tak bisa dibeli. Sebagai seorang ulama, dia sering berpetuah, “Menjadi ulama itu ibarat camilan manis bika, dipanggang dari atas (intervensi/kemauan pemerintah-red), dipanggang dari bawah (aspirasi umat-red).” Prinsip lurusnya Buya tadi dibuktikan dengan pengunduran dirinya sebagai ketua umum MUI pusat, lantaran perbedaan pandangan dengan pemerintah Soeharto.

Setiap hari sesudah shalat Subuh berjamaah, Buya selalu memperlihatkan kuliah Subuh di depan para jamaahnya, yang memadati Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru. Seperti yang diungkapkan wartawan senior Rosihan Anwar (1922-2011). “...Di samping itu, pengajian dan kuliah Subuh berkembang di banyak sekali masjid. Akan tetapi, agaknya kuliah Subuh yang paling mendapat minat, ialah yang dipimpin oleh Hamka sendiri di Masjid Al-Azhar di Kebayoran Baru. Tafsiran Alquran yang diberikannya di kuliah Subuh itu memperoleh pendengar yang banyak...” (Rusydi Hamka, hal. 181).

Jamaah selalu memadati pengajian kuliah Subuh tersebut. Model ceramahnya sangat klasik. Diawali ceramah, selepas itu para jamaah diberikan kesempatan bertanya, baik secara pribadi maupun melalui kertas yang sudah ditulis pertanyaan. Mendengar ceramahnya, kita akan gampang ingat lantaran bahasa dan logat Buya yang khas, suaranya yang agak parau, ditambah dengan seringnya Buya mengutip pepatah-petitih tradisional Minang (Melayu), kalau hendak menerangkan sebuah perkara.

Ditambah lagi, wawasan keilmuan Islam yang dalam, Buya memang bisa menciptakan suatu soalan menjadi terlihat mudah, tapi bukan untuk menyepelekan. Ketika menjawab perihal aturan fiqh yang tinggi tingkat khilafiyahnya, Buya menerangkan ragam kalam ulama, seraya tak lupa mengutip ayat Alquran dan Hadist. Buya ialah sosok yang sangat toleran terhadap perbedaan fiqh, masalah-masalah furu’iyah.

Kisah yang cukup dikenal masyarakat adalah, di ketika Buya bertamu ke kediaman ulama Betawi KH Abdullah Syafii di tempat Tebet Jakarta Selatan. Kala itu Buya diminta menjadi imam shalat Subuh oleh sohibul bait, Buya lantas maju menjadi imam. KH Abdullah Syafii berkeyakinan qunut Subuh hukumnya sunah ab’ad dalam Madzhab Syafii, hukumnya ibarat duduk tahiyat awal ketika salat Zuhur/Ashar/Maghrib/Isya.

Sebagai tokoh Muhammadiyah yang berkeyakinan tidak ada qunut Subuh, namun dengan bahagia hati Buya melaksanakan qunut Subuh demi menghormati sang tuan rumah. Buya menghormati orang yang berbeda prinsip fiqh dengan dirinya, bukan dengan cerita, tetapi melalui tindakan nyata.

Begitu pula ketika K. Abdullah Syafii bertamu ke Buya di Masjid Al-Azhar pada suatu Jumat. Ketika hendak khutbah, Buya mempersilakan kiai gaek ini menjadi katib Jumat, padahal jadwal katib sebetulnya ialah Buya sendiri. Bahkan, Buya meminta muadzin untuk azan Jumat sebanyak 2 kali, sebagaimana tradisi fiqh ulama-ulama madzhab Syafii. Semua itu Buya lakukan lantaran menghargai perbedaan madzhab fiqh, perbedaan yang sifatnya furuiyah belaka, bukan prinsip (ushul) baginya.

Begitulah wajah toleransi Buya terhadap perbedaan khilafiyah. Sebab baginya, persatuan umat lebih penting dan mendesak ketimbang memperlebar jurang perbedaan fiqh. Bahkan terhadap “musuh” politiknya sendiri Buya Hamka memperlakukannya dengan kasih sayang. Singkat cerita, Muhammad Yamin ialah sosok tokoh nasional yang sangat membenci Buya Hamka, lantaran Buya yang Masyumi dianggap mendukung (terlibat) pemberontakan PRRI di Sumatera Tengah.

Tapi, ketika Yamin sedang sakit-sakitan hendak meninggal, dia berpesan pada Chaerul Saleh biar Hamka didatangkan ke hadapannya. Dia hendak meminta maaf. Setelah Hamka datang, Yamin pun meminta maaf, sambil memegang erat tangan Buya. Sambil keduanya berurai air mata, Buya memaafkan segala kesalahan Yamin itu.
Dalam wasiatnya, Yamin meminta biar Hamka membantu proses pemakamannya di Nagari Talawi Solok, kampungnya. Dia khawatir alasannya orang kampung membencinya, dikarenakan Yamin sedari dulu anti (memusuhi) PRRI dan Masyumi.

Begitu pula ketika Soekarno hendak meninggal, dia meminta biar Buya yang mengimami shalat mayit kalau dia meninggal kelak. Wasiat inipun dipenuhi Buya dengan lapang dada lantaran Allah. Padahal, Hamka dipenjarakan tanpa proses pengadilan selama 2 tahun lebih oleh rezim Soekarno. Bahkan di penjara yang berpindah-pindah itu Buya mengalami penyiksaan. Tapi, tidak ada dendam kesumat sedikitpun, benar-benar luas hatinya (lihat “Pribadi dan Martabat Buya Hamka”, Rusydi Hamka, 2017).




Sekarang kita berlanjut kepada figur Ustad Abdul Somad (lebih lanjut ditulis UAS). UAS ialah sosok ustad yang ketika ini sedang memuncak pamornya, khususnya bagi netizen yang dekat dengan media umum ibarat youtube, facebook (fb) dan instagram.

UAS ialah seorang sarjana lulusan S-1 Universitas Al-Azhar dan S-2 Dar Al-Hadits Al-Hassania Institute, Kerajaan Maroko. Pria adonan Melayu Deli dan Riau, ketika ini, tinggal di Pekanbaru dan berprofesi sebagai dosen PNS di UIN Sultan Syarif Kasim Riau.

Publik mungkin menilai, terlalu prematur untuk menyandingkan Hamka dan Abdul Somad. Tapi bagi saya, taklah berlebihan kalau menyampaikan Hamka dan UAS sama-sama menjadi panutan umat. Mengajarkan umat untuk menghargai perbedaan, toleran, ulama yang lurus, tegas dan merangkul semua kelompok Islam. Mereka mengajarkan kita semua nilai itu.

Di era teknologi informasi yang makin canggih, pemanfaatan media umum internet menjadi keniscayaan. Puncak gelombang peradaban umat insan dengan hadirnya era informasi di era 21, demikian yang ditulis futurolog Alvin Toffler (lihat “Future Shock”, Alvin Toffler, 1970).

Produksi, distribusi, penggunaan hingga pada perekayasaan konten media informasi ialah wajah peradaban insan modern sekarang. Otomatis pemanfaatan media umum sebagai sarana efektif dalam berdakwah ialah sebuah kebutuhan. Kebutuhan dakwah modern, di era informasi-komunikasi kepada masyarakat yang cakap juga dalam menggunakannya, yang disebut netizen.

Terkenalnya UAS satu tahun terakhir ini, ialah fenomena dakwah Islam yang sebetulnya bukan hal yang baru. Sederetan nama-nama ustad (dai/mubalig) kondang, yang sudah usang populer jauh sebelum UAS juga pernah terjadi.

Mulai dari yang senior ibarat KH. Zainuddin MZ, KH. Anwar Sanusi dan Aa Gym hingga kepada Habib Rizieq, Habib Munzir Al Musawwa, Ustad Arifin Ilham, Ustad Yusuf Mansur, Ustad Jefri Al Bukhori, Ustad Wijayanto, Mamah Dedeh, Ustad Solmed hingga pada Ustad Maulana. Umumnya mereka dikenal melalui media tv nasional.

Beberapa nama dai di atas bisa dikategorikan sebagai “ustad seleb”, yaitu para mubalig yang dikenal publik berdakwah melalui media tv, sering muncul di tv, mempunyai program khusus di sebuah stasiun tv, bahkan ramai pemberitaan dirinya (keluarga) di acara-acara infotainment contohnya (lihat “Ustadz Seleb: Bisnis Moral & Fatwa Online”, Greg Fealy dkk, 2012).

Uniknya kemunculan UAS hingga ketika ini bukan lantaran infotainment, bukan dari media tv melainkan dari media sosial. Berbagai ceramah UAS bisa diakses oleh publik melalui youtube dan fb.

Pertanyaan kemudian adalah, “Apa penyebab sehingga dakwah-dakwah UAS selalu dinikmati, ditunggu-tunggu bahkan dihadiri oleh puluhan ribu jamaah, di setiap dia berdakwah? Apa gerangan yang menjadi magnet penarik, keunikan, sehingga jamaah hingga ke angka 13 ribu viewers lebih menonton secara live streaming, di setiap ceramah UAS melalui fb?

Bahkan dalam ceramah-caramahnya, UAS sering memberikan pada jamaah bahwa jadwal “manggung” ceramah dia sudah full hingga Desember 2018, baik di level lokal, nasional maupun internasional. Sebagai penceramah yang tak lahir dari produk infotainment dan entertainment tv, tentu  ini ialah fenomena yang menakjubkan dan unik.

Dikenal melalui youtube yang videonya dishare oleh jamaah. Bukan lantaran isu gosip infotainment media perihal dirinya, tetapi lebih lantaran luas dan dalamnya pemahaman keislaman UAS. Dikenal bukan lantaran skenario tv/rekayasa media mainstream, melainkann lantaran kehendak masyarakat Islam, yang selalu membagi video-video ceramahnya secara online.

UAS hadir pada ketika yang tepat, di tengah ghiroh umat Islam yang haus ilmu agama, pengetahuan perihal syariat Islam. Ditambah menguatnya dakwah-dakwah dari sekelompok ustad yang mengidentifikasikan diri/kelompoknya dengan sebutan “Salafi”, yang terkadang isi ceramahnya cenderung memperlebar jurang khilafiyah di tengah keragaman umat dalam praktik ibadah (fiqh). Bahkan acap kali ustad-ustad tersebut dengan berani tanpa tedeng aling-aling, pribadi melabeli bid’ah setiap praktik peribadatan muslim Indonesia, yang sudah mentradisi.

Tentu model dan gaya dakwah ibarat di atas akan lebih gampang menciptakan umat terpecah-belah. Padahal sebagai muslim diwajibkan oleh Allah untuk menjaga persatuan dan berpegang teguh pada tali Allah, jangan bercerai-berai. Fenomena dakwah yang serupa ini juga berpotensi melahirkan konflik horizontal di internal Islam sendiri. UAS tampil sebagai antitesis model dan gaya dakwah yang serba menyalahkan dan membid’ahkan tersebut.

Tampilan dakwah yang berisi, luasnya wawasan perbandingan madzhab dia (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali), penuh dengan guyonan cerdas ditambah logat Melayu yang khas. Menerangkan suatu kasus agama secara tegas, jelas, berdasar dalil dan selalu disisipi humor. Sehingga jamaah pun terhibur, tapi ilmunya tetap didapat.


UAS juga selalu memperlihatkan pilihan kepada jamaah, dalam suatu kasus ibadah yang domainnya ilmu fiqh misalnya, ibarat persoalan qunut Subuh. UAS dengan terbuka dan gamblang memperlihatkan pandangan tiap-tiap madzhab ulama akan aturan qunut Subuh itu. “Jangan sabung hanya persoalan khilafiyah!”, demikian hikmah UAS yang acap kali disampaikan.

Urusan produktivitas kepenulisan, UAS sudah menulis buku-buku; “37 Masalah Populer” (2014), “99 Tanya Jawab Seputar Shalat” (2013), “33 Tanya Jawab Seputar Qurban” (2009), dan “30 Fatwa Seputar Ramadhan-terjemahan” (2011). Semua buku karya UAS tersebut bisa diakses secara gratis, baik di internet (ebook-pdf) maupun melalui aplikasi appstore/playstore. Sangat mengagumkan, UAS mempermudah umat berguru Islam secara mudah dan efektif.

Makanya taklah heran, banyak jamaah yang berujar kalau UAS ialah Hamka zaman sekarang. Sebab, UAS mengedepankan toleransi, penghargaan terhadap perbedaan madzhab, menjunjung tinggi persatuan umat dan selalu menekankan biar umat Islam Indonesia melek politik dan sanggup berdiri diatas kaki sendiri dalam ekonomi. UAS selalu menyuarakan Islam dan politik tak bisa dipisahkan.

Mayoritas umat Islam di Indonesia secara ekonomi ialah kelas menengah ke bawah. Baginya perekonomian umat ialah mutlak tanggung jawab bersama umat Islam. Makanya UAS mengingatkan perihal pemberdayaan perekonomian umat dengan membangun dan berbagi sistem ekonomi syariah, hidupkan bank-bank syariah.

Momentum “persatuan umat” dengan agresi hening 411, 212 dan seterusnya, juga kuat terhadap kesadaran umat akan politik. Ini berdampak terhadap popularitas UAS. Baginya syariat Islam hanya akan berjalan dengan baik, kalau umat Islam sadar politik, cerdas dalam berpolitik. Satu-satunya jalan biar syariat Islam bisa diimplementasikan di Indonesia yang demokratis ini ialah melalui kekuasaan.

Makanya, bagi dia pilihlah calon-calon pemimpin, kepala tempat dan legisltaif yang tidak alergi terhadap aspirasi umat. 3 (tiga) poin utama sebagai fokus politik Islam (khususnya di tempat melalui Peraturan Daerah) baginya adalah: 1) integrasikan mata pelajaran bercirikan Islam di sekolah umum (ilmu fiqh, tarikh, aqidah dan lainnya), 2) kepala tempat menciptakan aturan perihal zakat di wilayahnya dan 3) kepala tempat diminta menciptakan Perda-perda yang bernuansa Islam.

Baginya semua impian politik Islam tersebut, hanya bisa dicapai kalau umat Islam yang berkuasa. Tapi jalan untuk mencapainya harus dengan cara-cara demokratis dan konstitusional sesuai hukum, tidak menggunakan kekerasan katanya.

Kaprikornus taklah berlebihan, kalau respons umat Islam akan kehadiran dakwah UAS ketika ini sangat antusias. Hamka muda telah lahir, walaupun keduanya mempunyai perbedaan. Hamka pernah menjadi pengurus Muhammadiyah, sedangkan Ustad Abdul Somad pernah menjadi pengurus Nahdlatul Ulama (Lembaga Bahtsul Masail) PWNU Riau.

UAS bergaul dengan kelompok Islam manapun ibarat Muhammadiyah, Jamaah Tabligh, Tarbiyah, Perti, Persis, Salafi bahkan FPI, MMI dan HTI yang sudah dibubarkan pemerintah ketika ini. UAS juga bercerita, pernah menjadi pengurus masjid Muhammadiyah di Pekanbaru selama 2 tahun. Padahal secara madzhab fiqh, dirinya berbeda dari saudara-saudara di Muhammadiyah. Tiap kali diminta menjadi imam di masjid Muhammadiyah tersebut, dengan rendah hati UAS selalu menolaknya. Dia menentukan untuk menjadi makmum saja, lantaran menghormati jamaah Muhammadiyah.

UAS pun sering mengutip dan menceritakan kisah heroisme dan keulamaan Hamka dalam ceramahnya. UAS mengatakan, dia mengidolakan sosok Hamka, seorang ulama pejuang. Banyak kemiripan keduanya. Sama-sama memperoleh gelar dari Al-Azhar Kairo, dan produktif menulis.

Memiliki kemiripan dalam berceramah, bergaya khas, logat Melayu yang kental, suka berpepatah-petitih Melayu (Minangkabau), bunyi yang parau dan ceramah yang selalui diikuti oleh tanya jawab menggunakan media kertas yang tumpukannya melebihi tebalnya skripsi. Jamaahnya berduyun-duyun, selalu memadati masjid ketika mendengar dakwahnya. Itulah beberapa kemiripan Buya dan UAS.

Terpenting ialah Hamka dan UAS sama-sama mengajarkan kita umat Islam, perihal indahnya perbedaan, pentingnya menjaga persatuan umat, kesadaran politik bernegara dan paling utama ialah tidak menonjolkan khilafiyah.
Persatuan umat yang mesti dikedepankan. Hamka dan Ustad Abdul Somad membuktikannya dengan tindakan. Ini mendesak dilakukan, lantaran kalau umat terus berkonflik lantaran urusan khilafiyah, maka persatuan umat Islam hanya akan tinggal utopia belaka.

Semoga Allah senantiasa meridhoi almarhum Buya Hamka dan memperlihatkan fasilitas dalam berdakwah bagi Ustad Abdul Somad, Sang Hamka Muda...!

Oleh: Satriwan Salim  Pengajar Labschool Jakarta-UNJ/Peneliti PUSPOL Indonesia, dalam goresan pena berjudul "Buya Hamka Dulu, Ustaz Abdul Somad Sekarang" di situs Republika.co.id
Sumber https://www.tipsiana.com

Hamka Muda Itu Berjulukan Ustad Abdul Somad Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Admin

0 komentar:

Posting Komentar