Klik Jenis-Jenis Bonsai, Bonsai Pohon Kelor, Bonsai Buah-Buahan, Kelapa, Serut, Beringin, Asem, Sancang, Kaliage, Aquascape, Anting Putri, Loa, Arabika, Adenium, Asoka, Ampelas, Azalea

Shalahuddin Al Ayyubi, Hero Islam Dari Seratus Medan Pertempuran

.com - Beberapa hari yang lalu, kita gres saja merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tak salah kali ini kita akan menceritakan sosok yang mendengungkan peringatan Maulid Nabi SAW untuk pertama kalinya. Ialah Shalahuddin Al-Ayyubi. Dunia barat mengenalnya sebagai Saladin. Ia yaitu raja legendaris yang bisa merebut kembali kota Jerussalam yang selama 100 tahun dijajah Kristen. Ia membebaskan Jerussalaem dengan cara yang elegan yang terus dikenang baik oleh mitra maupun lawan hingga kini.

Ia bisa membangkitkan ghirah ummat untuk bangun dari keterpurukan dengan cara menggali kembali nilai-nilai keteladanan Nabi SAW. Tulisan yang dinukil dari hudzhaifah.org ini akan membawa kita ke masa bangkitnya Islam dengan gemilang dan penuh martabat.


Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (1137 – 1193 M), namanya telah terpateri di hati sanubari pejuang Muslim yang mempunyai jiwa patriotik dan heroik, telah terlanjur terpahat dalam sejarah usaha umat Islam alasannya yaitu sudah bisa menyapu bersih, menghancurleburkan tentara salib yang merupakan adonan pilihan dari seluruh benua Eropa.

Konon guna membangkitkan kembali ruh jihad atau semangat di kalangan Islam yang dikala itu telah tidur nyenyak dan telah lupa akan tongkat estafet yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad saw., maka Salahuddinlah yang mencetuskan wangsit dirayakannya kelahiran Nabi Muhammad saw. Melalui media peringatan itu dibeberkanlah perilaku ksatria dan kepahlawanan pantang mengalah yang ditunjukkan melalui “Siratun Nabawiyah”. Hingga kini peringatan itu menjadi tradisi dan membudaya di kalangan umat Islam.

Jarang sekali dunia menyaksikan perilaku patriotik dan heroik bergabung menyatu dengan sifat perikemanusian menyerupai yang terdapat dalam diri pejuang besar itu. Rasa tanggung jawab terhadap agama (Islam) telah ia baktikan dan buktikan dalam menghadapi serbuan tentara ke tanah suci Palestina selama dua puluh tahun, dan kesannya dengan kegigihan, keampuhan dan kemampuannya sanggup memukul mundur tentara Eropa di bawah pimpinan Richard Lionheart dari Inggris.

Hendaklah diingat, bahwa Perang Salib yaitu peperangan yang paling panjang dan dahsyat penuh kekejaman dan kebuasan dalam sejarah umat manusia, memakan korban ratusan ribu jiwa, di mana angin kencang kefanatikan membabi buta dari Nasrani Eropa menyerbu secara menggebu-gebu ke tempat Asia Barat yang Islam.

Seorang penulis Barat berkata, “Perang Salib merupakan salah satu pecahan sejarah yang paling absurd dalam riwayat kemanusiaan. Umat Nasrani menyerbu kaum Muslimin dalam ekspedisi bergelombang selama hampir tiga ratus tahun sehingga kesannya berkat kegigihan umat Islam mereka mengalami kegagalan, berakibat kelelahan dan keputusasaan. Seluruh Eropa sering kehabisan manusia, daya dan dana serta mengalami kebangkrutan sosial, bila bukan kehancuran total. Berjuta-juta insan yang tewas dalam medan perang, sedangkan ancaman kelaparan, penyakit dan segala bentuk malapetaka yang sanggup dibayangkan berkecamuk sebagai noda yang menempel pada muka tentara Salib. Dunia Nasrani Barat dikala itu memang dirangsang ke arah rasa fanatik agama yang membabi buta oleh Peter The Hermit dan para pengikutnya guna membebaskan tanah suci Palestina dari tangan kaum Muslimin”.


“Setiap cara dan jalan ditempuh”, kata Hallam guna membangkitkan kefanatikan itu. Selagi seorang tentara Salib masih menyandang lambang Salib, mereka berada di bawah lindungan gereja serta dibebaskan dari segala macam pajak dan juga untuk berbuat dosa.

Peter The Hermit sendiri memimpin gelombang serbuan yang kedua terdiri dari empat puluh ribu orang. Setelah mereka hingga ke kota Malleville mereka menebus kekalahan gelombang serbuan pertama dengan menghancurkan kota itu, membunuh tujuh ribu orang penduduknya yang tak bersalah, dan melampiaskan nafsu angkaranya dengan segala macam kekejaman yang tak terkendali. Gerombolan insan fanatik yang menamakan dirinya tentara Salib itu mengubah tanah Hongaria dan Bulgaria menjadi daerah-daerah yang tandus.

“Bilamana mereka telah hingga ke Asia Kecil, mereka melaksanakan kejahatan-kejahatan dan kebuasan-kebuasan yang menciptakan alam semesta menggeletar” demikian tulis pengarang Perancis Michaud.

Gelombang serbuan tentara Salib ketiga yang dipimpin oeh seorang Rahib Jerman, berdasarkan pengarang Gibbon terdiri dari sampah masyarakat Eropa yang paling rendah dan paling dungu. Bercampur dengan kefanatikan dan kedunguan mereka itu izin diberikan guna melaksanakan perampokan, perzinaan dan bermabuk-mabukan. Mereka melupakan Konstantin dan Darussalam dalam kemeriahan pesta cara gila-gilaan dan perampokan, pengrusakan dan pembunuhan yang merupakan peninggalan buruk dari mereka atas setiap tempat yang mereka lalui” kata Marbaid.

Gelombang serbuan tentara Salib keempat yang diambil dari Eropa Barat, berdasarkan keterangan penulis Mill “terdiri dari gerombolan yang nekat dan ganas. Massa yang membabi buta itu menyerbu dengan segala keganasannya menjalankan pekerjaan rutinnya merampok dan membunuh. Tetapi kesannya mereka sanggup dihancurkan oleh tentara Hongaria yang naik pitam dan telah mengenal kegila-gilaan tentara Salib sebelumnya.

Tentara Salib telah menerima sukses sementara dengan menguasai sebagian besar tempat Syria dan Palestina termasuk kota suci Yerusalem. Tetapi Kemenangan-kemenangan mereka ini telah disusul dengan keganasan dan pembunuhan terhadap kaum Muslimin yang tak bersalah yang melebihi kekejaman Jengis Khan dan Hulagu Khan.

John Stuart Mill jago sejarah Inggris kenamaan, mengakui pembunuhan-pembunuhan massal penduduk Muslim ini pada waktu jatuhnya kota Antioch. Mill menulis: “Keluruhan usia lanjut, ketidakberdayaan bawah umur dan kelemahan kaum perempuan tidak dihiraukan sama sekali oleh tentara Latin yang fanatik itu. Rumah kediaman tidak diakui sebagai tempat berlindung dan pandangan sebuah masjid merupakan pembangkit nafsu angkara untuk melaksanakan kekejaman. Tentara Salib menghancurleburkan kota-kota Syria, membunuh penduduknya dengan tangan dingin, dan aben habis perbendaharaan kesenian dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga, termasuk “Kutub Khanah” (Perpustakaan) Tripolis yang termasyhur itu. “Jalan raya penuh fatwa darah, sehingga keganasan itu kehabisan tenaga,” kata Stuart Mill. Mereka yang manis rupawan disisihkan untuk pasaran budak belian di Antioch. Tetapi yang renta dan yang lemah dikorbankan di atas panggung pembunuhan.

Lewat pertengahan kurun ke-12 Masehi ketika tentara Salib mencapai puncak kemenangannya dan Kaisar Jerman, Perancis serta Richard Lionheart Raja Inggris telah turun ke medan pertempuran untuk turut merebut tanah suci Baitul Maqdis, adonan tentara Salib ini disambut oleh Sultan Shalahuddin al Ayyubi (biasa disebut Saladin), seorang Panglima Besar Muslim yang menghalau kembali gelombang serbuan umat Nasrani yang tiba untuk maksud menguasai tanah suci. Dia tidak saja sanggup untuk menghalau serbuan tentara Salib itu, akan tetapi yang dihadapi mereka kini ialah seorang yang berkemauan baja serta keberanian yang luar biasa yang sanggup mendapatkan tantangan dari Nasrani Eropa.

Siapakah Shalahuddin? Bagaimana latar belakang kehidupannya?

Shalahuddin dilahirkan pada tahun 1137 Masehi. Pendidikan pertama diterimanya dari ayahnya sendiri yang namanya cukup tersohor, yakni Najamuddin al-Ayyubi. Di samping itu pamannya yang populer gagah berani juga memberi andil yang tidak kecil dalam membentuk kepribadian Shalahuddin, yakni Asaduddin Sherkoh. Kedua-duanya yaitu pembantu akrab Raja Syria Nuruddin Mahmud.

Asaduddin Sherkoh, seorang jenderal yang gagah berani, yaitu komandan Angkatan Perang Syria yang telah memukul mundur tentara Salib baik di Syria maupun di Mesir. Sherkoh memasuki Mesir dalam bulan Februari 1167 Masehi untuk menghadapi perlawanan Shawer seorang menteri khalifah Fathimiyah yang menggabungkan diri dengan tentara Perancis. Serbuan Sherkoh yang gagah berani itu serta kemenangan final yang direbutnya dari Babain atas adonan tentara Perancis dan Mesir itu berdasarkan Michaud “memperlihatkan kehebatan seni administrasi tentara yang bernilai tinggi”.

Ibnu Aziz AI Athir menulis ihwal serbuan panglima Sherkoh ini sebagai berikut: “Belum pernah sejarah mencatat suatu insiden yang lebih dahsyat dari penghancuran tentara adonan Mesir dan Perancis dari pantai Mesir, oleh hanya seribu pasukan berkuda”.

Pada tanggal 8 Januari 1169 M Sherkoh hingga di Kairo dan diangkat oleh Khalifah Fathimiyah sebagai Menteri dan Panglima Angkatan Perang Mesir. Tetapi sayang, Sherkoh tidak ditakdirkan untuk usang menikmati hasil perjuangannya. Dua bulan sesudah pengangkatannya itu, beliau berpulang ke rahmatullah.

Sepeninggal Sherkoh, keponakannya Shalahuddin al-Ayyubi diangkat jadi Perdana Menteri Mesir. Tak seberapa usang ia telah disenangi oleh rakyat Mesir lantaran sifat-sifatnya yang pemurah dan adil bijaksana itu. Pada dikala khalifah berpulang ke rahmatullah, Shalahuddin telah menjadi penguasa yang bergotong-royong di Mesir.

Di Syria, Nuruddin Mahmud yang termasyhur itu meninggal dunia pada tahun 1174 Masehi dan digantikan oleh putranya yang berumur 11 tahun berjulukan Malikus Saleh. Sultan muda ini diperalat oleh pejabat tinggi yang mengelilinginya terutama (khususnya) Gumushtagin. Shalahuddin mengirimkan utusan kepada Malikus Saleh dengan memperlihatkan jasa baktinya dan ketaatannya. Shalahuddin bahkan melanjutkan untuk menyebutkan nama raja itu dalam khotbah-khotbah Jumatnya dan mata uangnya. Tetapi segala macam bentuk perhatian ini tidak menerima jawaban dari raja muda itu berserta segenap pejabat di sekelilingnya yang penuh ambisi itu. Suasana yang mencakup kerajaan ini sekali lagi memberi angin kepada tentara Salib, yang selama ini sanggup ditahan oleh Nuruddin Mahmud dan panglimanya yang gagah berani, Jenderal Sherkoh.

Atas pesan yang tersirat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke kota Aleppo, dengan meninggalkan Damaskus diserbu oleh tentara Perancis. Tentara Salib dengan segera menduduki ibukota kerajaan itu, dan hanya bersedia untuk menghancurkan kota itu sesudah mendapatkan uang tebusan yang sangat besar. Peristiwa itu mengakibatkan amarah Shalahuddin al-Ayyubi yang segera ke Damaskus dengan suatu pasukan yang kecil dan merebut kembali kota itu.

Setelah ia berhasil menduduki Damaskus beliau tidak terus memasuki istana rajanya Nuruddin Mahmud, melainkan bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat kecewa akan tingkah laris Malikus Saleh. dan mengajukan tuntutan kepada Shalahuddin untuk memerintah tempat mereka. Tetapi Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama raja muda Malikus Saleh. Ketika Malikus Saleh meninggal dunia pada tahun 1182 Masehi, kekuasaan Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat.

Diadakanlah gencatan senjata antara Sultan Shalahuddin dan tentara Perancis di Palestina, tetapi berdasarkan jago sejarah Perancis Michaud: “Kaum Muslimin memegang teguh perjanjiannya, sedangkan golongan Nasrani memberi kode untuk memulai lagi peperangan.” Berlawanan dengan syarat-syarat gencatan senjata, penguasa Nasrani Renanud atau Reginald dari Castillon menyerang suatu kafilah Muslim yang lewat di akrab istananya, membunuh sejumlah anggotanya dan merampas harta bendanya.

Lantaran insiden itu Sultan kini bebas untuk bertindak. Dengan siasat perang yang tangkas Sultan Shalahuddin mengurung pasukan musuh yang berpengaruh itu di akrab bukit Hittin pada tahun 1187 M serta menghancurkannya dengan kerugian yang amat besar. Sultan tidak memberikan kesempatan lagi kepada tentara Nasrani untuk menyusun kekuatan kembali dan melanjutkan serangannya sesudah kemenangan di bukit Hittin. Dalam waktu yang sangat singkat beliau telah sanggup merebut kembali sejumlah kota yang diduduki kaum Nasrani, termasuk kota-kota Naplus, Jericho, Ramlah, Caosorea, Arsuf, Jaffa dan Beirut. Demikian juga Ascalon telah sanggup diduduki Shalahuddin sehabis pertempuran yang singkat yang diselesaikan dengan syarat-syarat yang sangat ringan oleh Sultan yang berhati mulia itu.

Di tahun 1187 Shalahuddin, Sultan Mesir dan Suriah, menghancurkan tentara tentara salib Yerusalem di Tanduk Hattin, Palestina.


Sekarang Shalahuddin menghadapkan perhatian sepenuhnya terhadap kota Jerusalem yang diduduki tentara Salib dengan kekuatan melebihi enam puluh ribu prajurit. Ternyata tentara salib ini tidak sanggup menahan serbuan pasukan Sultan dan mengalah pada tahun 1193. Sikap penuh perikemanusiaan Sultan Shalahuddin dalam memperlakukan tentara Nasrani itu merupakan suatu citra yang berbeda menyerupai langit dan bumi, dengan perlakuan dan pembunuhan secara besar-besaran yang dialami kaum Muslimin ketika dikalahkan oleh tentara Salib sekitar satu kurun sebelumnya.

Menurut penuturan jago sejarah Michaud, pada waktu Jerusalem direbut oleh tentara Salib pada tahun 1099 Masehi, kaum Muslimin dibunuh secara besar-besaran di jalan-jalan raya dan di rumah-rumah kediaman. Jerusalem tidak mempunyai tempat berlindung bagi umat Islam yang menderita kekalahan itu. Ada yang melarikan diri dari cengkeraman musuh dengan menjatuhkan diri dari tembok-tembok yang tinggi, ada yang lari masuk istana, menara-menara, dan tak kurang pula yang masuk masjid. Tetapi mereka tidak terlepas dari kejaran tentara Salib. Tentara Salib yang menduduki masjid Umar di mana kaum Muslimin sanggup bertahan untuk waktu yang singkat. mengulangl lagi tindakan-tindakan yang penuh kekejaman. Pasukan infanteri dan kavaleri menyerbu kaum pengungsi yang lari tunggang langgang. Di tengah-tengah kekacaubalauan kaum peenyerbu itu yang terdengar hanyalah erangan dan teriakan maut. Pahlawan Salib yang berjasa itu berjalan menginjak-injak tumpukan mayat Muslimin, mengejar mereka yang masih berusaha dengan sia-sia melarikan diri. Raymond d’ Angiles yang menyaksikan insiden itu menyampaikan bahwa “di serambi masjid mengalir darah hingga setinggi lutut, dan hingga ke tali tukang kuda prajurit”.


Penyembelihan insan biadab ini berhenti sejenak, ketika tentara Salib berkumpul untuk melaksanakan misa syukur atas kemenangan yang telah mereka peroleh. Tetapi sesudah beribadah itu, mereka melanjutkan kebiadaban dengan keganasan. “Semua tawanan” kata Michaud, “yang tertolong nasibnya lantaran kelelahan tentara Salib yang semula tertolong lantaran mengharapkan diganti dengan uang tebusan yang besar, semua dibunuh dengan tanpa ampun. Kaum Muslimin terpaksa menjatuhkan diri mereka dari menara dan rumah kediaman; mereka dibakar hidup-hidup, mereka diseret dari tempat persembunyiannya di bawah tanah; mereka dipancing dari tempat perlindungannya semoga keluar untuk dibunuh di atas timbunan mayat”.

Cucuran air mata kaum wanita, pekikan bawah umur yang tak bersalah, bahkan juga kenangan dari tempat di mana Nabi lsa memaafkan algojo-algojonya, tidak sanggup meredakan nafsu angkara tentara yang menang itu. Penyembelihan kejam itu berlangsung selama seminggu. Dan sejumlah kecil yang sanggup melarikan diri dari pembunuhan jatuh menjadi budak yang hina dina.

Seorang jago sejarah Barat, Mill menambahkan pula: “Telah diputuskan, bahwa kaum Muslimin dihentikan diberi ampun. Rakyat yang ditaklukkan oleh lantaran itu harus diseret ke tempat-tempat umum untuk dibunuh hidup-hidup. Ibu-ibu dengan anak yang melengket pada buah dadanya, bawah umur pria dan perempuan, seluruhnya disembelih. Lapangan-Iapangan kota, jalan-jalan raya, bahkan pelosok-pelosok Jerusalem yang sepi telah dipenuhi oleh bangkai-bangkai mayat pria dan perempuan, dan anggota badan anak-anak. Tiada hati yang menaruh belas kasih atau teringat untuk berbuat kebajikan”.

Demikianlah rangkaian riwayat pembantaian secara masal kaum Muslimin di Jerusalem sekira satu kurun sebelum Sultan Shalahuddin merebut kembali kota suci, di mana lebih dari tujuh puluh ribu umat Islam yang tewas.

Sebaliknya, ketika Sultan Shalahuddin merebut kembali kota Jerusalem pada tahun 1193 M, beliau memberi pengampunan umum kepada penduduk Nasrani untuk tinggal di kota itu. Hanya para prajurit Salib yang diharuskan meninggalkan kota dengan pembayaran uang tebusan yang ringan. Bahkan sering terjadi bahwa Sultan Shalahuddin yang mengeluarkan uang tebusan itu dari kantongnya sendiri dan diberikannya pula kemudian alat pengangkutan. Sejumlah kaum perempuan Nasrani dengan mendukung bawah umur mereka tiba menjumpai Sultan dengan penuh tangis seraya berkata: “Tuan saksikan kami berjalan kaki, para istri serta bawah umur perempuan para prajurit yang telah menjadi tawanan Tuan, kami ingin meninggalkan negeri ini untuk selama-lamanya. Para prajurit itu yaitu acuan hidup kami. Bila kami kehilangan mereka akan hilang pulalah keinginan kami. Bilamana Tuan serahkan mereka kepada kami mereka akan sanggup meringankan penderitaan kami dan kami akan mempunyai sandaran hidup”.

Shalahuddin Al Ayyubi memasuki kota Jerussalem

Sultan Shalahuddin sangat tergerak hatinya dengan permohonan mereka itu dan dibebaskannya para suami kaum perempuan Nasrani itu. Mereka yang berangkat meninggalkan kota, diperkenankan membawa seluruh harta bendanya. Sikap dan tindakan Sultan Shalahuddin yang penuh kemanusiaan serta dari jiwa yang mulia ini memperlihatkan suasana kontras yang sangat mencolok dengan penyembelihan kaum Muslimin di kota Jerusalem dalam tangan tentara Salib satu kurun sebelumnya. Para komandan pasukan tentara Shalahuddin saling berlomba dalam memberikan pertolongan kepada tentara Salib yang telah dikalahkan itu.

Para pelarian Nasrani dari kota Jerusalem itu tidaklah menerima proteksi oleh kota-kota yang dikuasai kaum Nasrani. “Banyak kaum Nasrani yang meninggalkan Jerusalem” kata Mill, pergi menuju Antioch, tetapi panglima Nasrani Bohcmond tidak saja menolak memberikan proteksi kepada mereka, bahkan merampasi harta benda mereka. Maka pergilah mereka menuju ke tanah kaum Muslimin dan diterima di sana dengan baik. Michaud mcmberikan keterangan yang panjang lebar ihwal perilaku kaum Nasrani yang tak berperikemanusiaan ini terhadap para pelarian Nasrani dari Jerusalem. Tripoli menutup pintu kotanya dari pengungsi ini, kata Michaud “Seorang perempuan lantaran frustasi melemparkan anak bayinya ke dalam bahari sambil menyumpahi kaum Nasrani yang menolak untuk memberikan pertolongan kepadanya”, kata Michaud. Sebaliknya Sultan Shalahuddin bersikap penuh timbang rasa terhadap kaum Nasrani yang ditaklukkan itu. Sebagai pertimbangan terhadap perasaan mereka, beliau tidak memasuki Jerusalem sebelum mereka meninggalkannya.

Dari Jerusalem Sultan Shalahuddin mengarahkan pasukannya ke kota Tyre, di mana tentara Salib yang tidak tahu berterima kasih terhadap Sultan Shalahuddin yang telah mengampuninya di Jerusalem, menyusun kekuatan kembali untuk melawan Sultan. Sultan Shalahuddin menaklukkan sejumlah kota yang diduduki oleh tentara Salib di pinggir pantai, termasuk kota Laodicea, Jabala, Saihun, Becas, dan Debersak. Sultan telah melepas hulu balang Perancis berjulukan Guy de Lusignan dengan perjanjian, bahwa beliau harus segera pulang ke Eropa. Tetapi tidak usang sesudah pangeran Nasrani yang tak tahu berterima kasih ini mendapatkan kebebasannya, beliau mengingkari janjinya dan mengumpulkan suatu pasukan yang cukup besar dan mengepung kota Ptolemais.

'Saladin dan Guy de Lusignan' yang menggambarkan berakhirnya Pertempuran Hattin

Jatuhnya Jerusalem ke tangan kaum Muslimin mengakibatkan kegusaran besar di kalangan dunia Nasrani. Sehingga mereka segera mengirimkan bala pertolongan dari seluruh pelosok Eropa. Kaisar Jerman dan Perancis serta raja Inggris Richard Lion Heart segera berangkat dengan pasukan yang besar untuk merebut tanah suci dari tangan kaum Muslimin. Mereka mengepung kota Akkra yang tidak sanggup direbut selama berapa bulan. Dalam sejumlah pertempuran terbuka, tentara Salib mengalami kekalahan dengan meninggalkan korban yang cukup besar.

Sekarang yang harus dihadapi Sultan Shalahuddin ialah berupa pasukan adonan dari Eropa. Bala pertolongan tentara Salib mengalir ke arah kota suci tanpa putus-putusnya, dan sungguh pun kekalahan dialami mereka secara bertubi-tubi, namun demikian tentara Salib ini jumlah semakin besar juga. Kota Akkra yang dibela tentara Islam berbulan-bulan lamanya menghadapi tentara pilihan dari Eropa, kesannya lantaran kehabisan materi masakan terpaksa mengalah kepada musuh dengan syarat yang disetujui bersama secara khidmat, bahwa tidak akan dilakukan pembunuhan-pembunuhan dan bahwa mereka diharuskan membayar uang tebusan sejumlah 200.000 emas kepada pimpinan pasukan Salib. Karena kelambatan dalam suatu penyelesaian uang tebusan ini, Raja Richard Lionheart menyuruh membunuh kaum Muslimin yang tak berdaya itu dengan dan hati yang cuek di hadapan pandangan mata saudara sesama kaum Muslimin.

Perilaku Raja Inggris ini tentu saja sangat menusuk perasaan hati Sultan Shalahuddin. Dia bernadzar untuk menuntut bela atas darah kaum Muslimin yang tak bersalah itu. Dalam pertempuran yang berkecamuk sepanjang 150 mil garis pantai, Sultan Shalahuddin memberikan pukulan-pukulan yang berat terhadap tentara Salib.

Akhirnya Raja Inggris yang berhati singa itu mengajukan undangan tenang yang diterima oleh Sultan. Raja itu mencicipi bahwa yang dihadapinya yaitu seorang yang berkemauan baja dan tenaga yang tak terbatas serta menyadari betapa sia-sianya melanjutkan usaha terhadap orang yang demikian itu. Dalam bulan September 1192 Masehi dibuatlah perjanjian perdamaian. Tentara Salib itu meninggalkan tanah suci dengan ransel dengan barang-barangnya kembali menuju Eropa.

“Berakhirlah dengan demikian serbuan tentara Salib itu” tulis Michaud “di mana adonan pasukan pilihan dari Barat merebut kemenangan tidak lebih daripada kejatuhan kota Akkra dan kehancuran kota Askalon. Dalam pertempuran itu Jerman kehilangan seorang kaisarnya yang besar beserta kehancuran tentara pilihannya. Lebih dari enam ratus ribu orang pasukan Salib mendarat di depan kota Akkra dan yang kembali pulang ke negerinya tidak lebih dari seratus ribu orang. Dapatlah dipahami mengapa Eropa dengan penuh kesedihan mendapatkan hasil usaha tentara Salib itu, oleh lantaran yang turut dalam pertempuran terakhir yaitu tentara pilihan. Bunga kesatria Barat yang menjadi pujian Eropa telah turut dalam pertempuran ini.

Sultan Shalahuddin mengakhiri sisa-sisa hidupnya dengan kegiatan-kegiatan bagi kesejahteraan masyarakat dengan membangun rumah sakit, sekolah-sekolah, perguruan-perguruan tinggi serta masjid-masjid di seluruh tempat yang diperintahnya.

Tetapi sayang, beliau tidaklah ditakdirkan untuk usang mencicipi nikmat perdamaian. Beberapa bulan kemudian beliau pulang ke rahmatullah pada tanggal 4 Maret tahun 1193. “Hari itu merupakan hari peristiwa alam besar, yang belum pernah dirasakan oleh dunia Islam dan kaum Muslimin, sejak mereka kehilangan Khulafa Ar-Rasyidin” demikian tulis seorang penulis Islam. Kalangan Istana seluruh tempat kerajaan berikut seluruh umat Islam karam dalam lautan sedih nestapa. Seluruh isi kota mengikuti usungan jenazahnya ke kuburan dengan penuh kesedihan dan tangisan.

Demikianlah berakhirnya kehidupan Sultan Shalahuddin, seorang raja yang sangat dalam perikemanusiaannya dan tak ada tolok bandingannya, jiwa kepahlawanan yang dimilikinya dalam sejarah kemanusiaan. Dalam pribadinya, Allah telah melimpahkan hati seorang Muslim yang penuh kasih sayang terhadap kemanusiaan dicampur dengan sangat serasi dengan keperkasaan seorang genius dalam medan pertempuran. Utusan yang memberikan gosip kematiannnya itu ke Baghdad membawa serta baju perangnya, kudanya, uang sebanyak satu dinar dan 36 dirham sebagai milik pribadinya yang masih ketinggalan. Orang yang hidup satu zaman dengannya, serta segenap jago sejarah sama sependapat bahwa Sultan Shalahuddin yaitu seorang yang sangat lemah lembut hatinya, ramah tamah, sabar, seorang sobat yang baik dari kaum cendekiawan dan golongan ulama yang diperlakukannya dengan rasa hormat yang mendalam serta dengan penuh kebajikan. “Di Eropa” tulis Philip K Hitti, beliau telah menyentuh alam khayalan para penyanyi maupun para penulis novel zaman sekarang, dan masih tetap dinilai sebagai suri contoh kaum kesatria.

Semoga Allah melapangkan kuburnya.

Disarikan dari:
1. Shalahuddin al-Ayyubi, oleh Kwaja Jamil Ahmad (Lihat: Suara Masjid No. 91, Jumadil Akhir-Rajab 1402 H/April 1982 M)
2. The Preaching of Islam, oleh Thomas W. Arnold.

NB:
– “Shalahuddin”, kadang ditulis dengan ejaan: Saladin (biasanya oleh Barat), Sholahuddin, atau Salahuddin.
– Sineas Barat menciptakan film berjudul “Kingdom of Heaven”. Film tersebut, terlepas benar atau tidaknya isi cerita, berkaitan dengan tokoh Shalahuddin ini.
– Buku yang juga membahas ihwal salahuddin yaitu “Perang Suci, Penulis :Karen Amstrong”.
Sumber https://www.tipsiana.com

Shalahuddin Al Ayyubi, Hero Islam Dari Seratus Medan Pertempuran Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Admin

0 komentar:

Posting Komentar