Jari-jemariku menulis kalimat kalimat ini, alasannya yaitu mataku yang tak sanggup lagi menampung perihnya airmata..
Kawan...
Semua yang disyariatkan Allah yaitu benar yang harus kita lakukan...
Dan Syariat itu tidak pernah salah dan keliru yang menjadikannya hancur yaitu eksklusif manusia...
Sebut saja namaku Abdullah. Aku diberi Allah pendamping yang supel, pintar, rajin dan sangat sholehah, sebut saja namanya Aisyah. Hidupku sangat senang apalagi Aisyah telah memberiku dua orang putra dan satu orang putri. Rumah tanggaku sangat bahagia.
Suatu hari hatiku diuji oleh Allah. Aku jatuh cinta pada seseorang gadis yang sangat manis dan lebih muda, sebut saja namanya Fatimah. Yang lebih membuatku semakin berpengaruh ingin menikah lagi dengan Fatimah yaitu alasannya yaitu ia sangat sholehah dan bersedia menjadi istri kedua ku.
Akhirnya saya putuskan untuk menikah dengan Fatimah, saya sudah memberi tahu istriku namun Aisyah tidak menjawab apa-apa. Yang kulihat hanya airmata yang tiba-tiba jatuh dikala ku sampaikan itu. Aku tak peduli.. Toh nanti juga ia akan menerima..
Terjadilah kesepakatan nikah antara saya dan Fatimah. Awal-awalnya memang agak susah, tapi usang kelamaan risikonya baik-baik saja. Hanya saja Aisyah sedikit lebih pendiam dari sesudah saya menikah lagi
Waktu terus bergulir, tidak terasa saya membina rumah tangga dengan Fatimah sudah satu tahun dan dikaruniai seorang putri yang kini berusia 6 bulan, sementara Aisyah tidak banyak yang berubah darinya.
Hari-hari terus bergulir dan saya mulai bosan dan jenuh , sehingga terjadilah angin kencang dalam keluargaku. Aku ingin mencereikan salah satu istriku. Akhirnya terjadi pertengkaran dalam keluargaku dan jatuhlah talak ku pada Aisyah, kulihat ada airmata di wajahnya namun ia terus membisu dalam kebisuan air mata.
Ku biarkan Ghozy, Ghassan dan Balqis anak anak ku ikut dengan Aisyah alasannya yaitu saya tahu mereka niscaya akan menentukan ibunya..
Tahun berganti tahun..
Hidupku dengan Fatimah pun mulai goyang, bahwasanya saya sangat senang dengannya namun sifat manja dan tidak memahami perasaanku membuatku tidak nyaman, dan tak jarang rumah tangga kami mulai diterpa pertengkaran.
Suatu ketika kami pernah bertengkar andal dan menciptakan saya enggan pulang ke rumah, akupun mampir disebuah mesjid, kularutkan diri dlm sholat. Dalam mesjid itupun saya rindu dengan Aisyah dan belum dewasa ku.. Tapi dimana mereka?
7 tahun yang silam dikala saya mentalak Aisyah, Ghozy putra pertamaku berusia 5 tahun, dan Ghassan berusia 4 tahun sementara Balqis berusia 1 tahun. Hingga kini saya tak pernah mananyakan kabar mereka apalagi mengirimkan mereka biaya hidup. Sungguh semakin membuatku menderita memikirkannya.
Saat itu hujan turun dengan lebatnya..
Aku pelan-pelan dan rahasia mulai mencari Aisyah dan belum dewasa ku, namun hasilnya tak berhasil, saya mulai menanyakan kiri kanan pada keluarganya atau pada teman-teman Aisyah tapi tetap nihil.
Mereka hilang bagai ditelan bumi..
Dimana mereka ya Allah.. Doaku dalam hati. Aku semakin ketakutan manakala tak mendapat info apa-apa wacana mereka.. Pikiran ku semakin tak menentu.. Di sisi lain Fatimah hidup denganku dengan sejuta tuntutan.
Hari-hari pun terus berlalu..
Bahkan hampir 6 bulan saya mencari mereka.. Hingga pada suatu hari sehabis mengikuti kajian, tiba-tiba seorang ustadz mendekatiku, "Abdullah... Apakah kamu sudah bertemu Aisyah dan belum dewasa mu?" Ku geleng kan kepala dgn air mata kerinduan.
Ustadz itu berkata "Insya Allah mereka baik-baik saja." Perkataan sang ustadz membuatku menatap wajahnya lekat lekat. Wajah sang ustadz seolah tersirat ia mengetahui keberadaan Aisyah dan anak-anakku.
Ternyata benarlah dugaan ku, sang ustadz memberi tahu sesudah ku desak dimana Aisyah dan anak-anakku.
Aisyah menghilang dalam hidupku dan menetap di sebuah kota yang sangat jauh dari kawasan yang pernah menjadi kota kawasan kami dikala membina rumah tangga.. Jauh dan sangat jauh, jarak tempuhnya 4 hari perjalanan. Di sebuah pondok pesantren dipelosok desa sempurna di lereng gunung.
Saat itu saya berangkat bersama sang ustadz sebagai penunjuk dan perantara yang mempertemukan saya dengan ia Aisyah. Perjalanan yg panjang menciptakan saya dan sang Ustadz ingin beristirahat sejenak. Mampirlah kami disalah satu mesjid di kawasan itu. Dada ku bergemuruh, perasaanku tak menentu, saya jadi ketakutan manakala anakianak ku tak mau melihatku apalagi mendapatkan ku. Terus ku yakinkan hatiku.
Tiba-tiba lamunanku hilang oleh merdunya bunyi adzan, airmata ku menetes menghayati kalimat sang mu'adzin. Saat itu waktu magrib, Aku dan Ustad memutuskan bermalam di mesjid tersebut.
Allahu Akbar... Suara imam menggema, saya karam dalam sholat oleh tartilnya bacaan imam, memperlihatkan ia sangat fasih dalam melafalkan Al Quran. Setelah selesai sholat sang imam memperlihatkan tausyiah singkat wacana hargailah orang yg selalu bersama kita. Lisan sang imam benar-benar mengiris hatiku.
Keesokan hari dikala subuh menjelang saya berdoa ya ALLAH pertemukan saya dengan Aisyah dan belum dewasa ku... Adzan subuhpun berkumandang.. Sebelum sholat sang ustadz berkata insya Allah pagi ini kamu akan bertemu dengan putra pertamamu.
Semakin bergemuruh hatiku ditambah lagi bunyi sang imam menciptakan para jama'ah memecahkan tangisan. Sungguh desa dan kawasan yang dipilih Aisyah benar-benar sangat tenang dari kebisingan dunia.
Benar lah pagi itu saya bertemu dengan putra sulungku Ghozy yg tiada lain yaitu imam yang dari tadi malam menciptakan jemaah menangis alasannya yaitu tartilnya membaca Quran. Hatiku bergemuruh..
Dalam usia yang sangat muda ia telah mempunyai ilmu setara gurunya. Hatiku kembali bergemuruh mana kala melihatnya tumbuh menjadi penghafal Qur'an.
Menetes air mata ku, kepeluk ia erat sekali. Kutanyakan kabar ibu dan adik-adik nya..... Dengan gaya bahasa yang sangat sopan Ghozy menceritakan perjalanan ibunya menanggung ketiga anaknya tanpa ada sosok ayah. Ghozy telah didewasakan oleh ilmunya walau ia gres berumur 14 tahun.
Kisah perjalanan istrinya di dengar dengan airmata tak terbendung. Hati Abdullah semakin merinding kala Ghozy menyampaikan bahwa adiknya Ghassan yang usia beda setahun dengan Ghozy telah berangkat ke madinah alasannya yaitu prestasinya. Di sisi lain Balqis yang berusia sembilan tahun telah selesai mengikuti agenda kelas tahfidz.
Ghozy dgn tegas mengatakan, "Kami semua sanggup menyerupai yg Abi dengar alasannya yaitu sosok ibu yang telah Abi tinggalkan. Umi membesarkan dan mendidik kami untuk lebih mengasihi Allah.."
"Umi memberi kami makan dari hasil kerjanya sebagai orang yang mencuci piring di dapur pondok ini.."
"Abi.. Umi tak pernah mengajari kami untuk membencimu tapi ketahuilah kamu yaitu ayah kami, tapi kamu tak layak jadi suami dari ibuku.."
Kalimat itu terdengar bagai petir..
Dunia terasa gelap.. Wajah ku menunduk.. Aku tak tahu harus berbuat apa.
Untuk mu yang sedang membaca goresan pena ku.. Jangan kamu berbuat menyerupai ku..
Seseorang yg ada disamping mu kini yaitu orang terbaik yg di pilih Allah untukmu maka jangan sia-sia kan...
Aku tak sanggup melanjutkan tulisanku ini alasannya yaitu airmata ku menghalangi pandangan ku....
Untukmu istri ku Aisyah..
Walau saya tak layak untukmu... Kini kamu bukti kan bahwa sikapmu yaitu cerminan dari namamu..
Hal terindah dalam hidupku kamu telah menyebabkan belum dewasa ku sebagai jundi-jundi sejati....
Untukmu istri ku Aisyah.. Dikala Allah mempertanyakan diriku wacana belum dewasa ku.. Apa yg menjadi hujjah ku...?
Untukmu istriku Aisyah... Aku telah membuang berlianku..sungguh belum dewasa kita tumbuh menjadi belum dewasa mutthaqiin.. Satu hal yang ku mohon pada Allah.. Aku diberi kesempatan untuk berkumpul dan menembus dosa dan kesalahan dgn kalian.
Ibroh yang sanggup diambil dari kisah ini, bahwa bersyukur selalu kpd allaah dgn orang-orang terdekat dikala ini.
Lengkapi kekurangannya, tutupi cacatnya, pujilah Allah selalu atas kebaikannya.
Sumber: https://www.facebook.com/groups/131922814025258/permalink/276939679523570/
0 komentar:
Posting Komentar